Oleh : DR. Masri Sitanggang
SUARAUMAT.ID - Seorang guru besar salah satu perguruan tinggi Islam (tak perlulah kusebut namanya) mengatakan, dakwah di Indonesia telah mengalami kemajuan pesat. Indikatornya, katanya, antara lain bahwa pakaian muslim sudah membudaya, masjid yang dulunya diisi oleh para lansia kini ramai oleh kalangan muda, peminat umroh dan haji sudah ngantri, zakat-infaq sadaqah dan wakaf berkembang, begitu juga dengan semangat melakukan ibadah qurban terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sebagai salah seorang pembicara dalam seminar itu, aku tidak dalam kapasitas membanding dan oleh karenanya aku pun tidak menanggapi pemikiran sang Guru Besar. Aku menganggap pikiran beliau itu tidak mewakili para intlektual Islam dan para pelaku dakwah. Soalnya, menurutku, terlalu sederhana bila melihat dakwah dengan cara yang ia sampaikan.
Tetapi aku agaknya keliru. Setelah beberapa waktu berlalu, kudapati pikiran itu ternyata ada di banyak benak para tokoh Islam. Mereka puas dengan capaian dakwah sebagaimana yang digambarkan sang Professor. Ini, tenu saja, mencemaskan kita yang menekuni dakwah ilallah dan oleh karena itu perlu diluruskan. Apalagi fakta menunjukkan, saat ini, dakwah justeru mengahadapi berbagai cabaran yang kian hari kian berat.
Kekeliruan pandangan Sang Professor --dan mereka yang sealiran dengannya, bertitiktolak dari kekurangtepatan memahami hakekat Dakwah Islamiyah : apa sesungguhnya missi dakwah dan mana “titik” –sebagai ultimate goal, yang akan dicapai ? Sederhananya, sebutlah disorientasi.
Kekeliruan ini bisa juga dilihat sebagai indikator masih kuatnya pengaruh pemikiran Snouck Hurgronje –meski sudah merdeka tiga per empat abad, yang diterapkan oleh penjajah Belanda di negeri ini. Islam diarahkan kepada pelaksanaan ibadah-ibadah ritual; dan oleh karenanya, itulah yang dianggap tugas dakwah sekaligus ukuran keberhasilan dakwah.
Tentu saja kita bersyukur. Bila Dakwah Islamiyah diibaratkan sebuah perjalanan, kita telah meningkatkan, misalnya, kecepatan kenderaan dari 60 km/jam menjadi 80 km/jam sehingga di satu saat tiba di titik yang indikasinya seperti dilukiskan oleh sang Professor. Ada peningkatan kerja. Ada kemajuan yang telah dicapai.
Tetapi satu hal yang harus disadari, Dakwah Islamiyah tidak bergerak di ruang hampa. Ada banyak yang bergerak di ruang yang sama, yakni lawan-lawan dakwah (atau sebutlah antidakwah, sebagai sebuah nilai kebathilan). Antidakwah itu bukan saja berupaya menghambat laju dakwah, berusaha agar dakwah melenceng dari jalurnya, tapi juga berupaya bergerak lebih cepat mendahului dakwah sehingga atmosfer kehidupan dilingkupi sepenuhnya oleh antidakwah (kebathilan). Yang demikian itu dimaksudkan agar pada gilirannya cahaya dakwah padam, tertutupi kebathilan. Jadi, ada perlombaan di situ. Ada kompetisi bahkan ada pertarungan di situ.
Bila menggunakan logika fisika gerak berubah beraturan, peningkatan dari 60 ke 80 km/jam itu hanya akan berarti bila dibandingkan dengan benda diam. Kita seolah bergerak di ruang hampa : tidak ada yang bergerak. Tetapi jika kita sadari bahwa Dakwah Islamiyah adalah sebuah kompetisi (perlombaan-pertarungan), di mana antidakwah juga bergerak, maka peningkatan 20 km/jam (dari 60 ke 80 km/jam) menjadi tidak punya arti apa-apa jika antidakwah ternyata bergerak dari 60 km/jam menjadi 100 km/jam. Artinya, dakwah Islamiyah bergerak dengan kecepatan minus 20 (tertinggal 20) km/jam dibandingkan dengan antidakwah. Pada saat yang sama, tentu saja, capaian antidakwah (kebathilan) jauh lebih tinggi dari Dakwah Islamiyah.
Oleh karena itu, menilai keberhasilan dakwah mestinya tidak dalam perspektif ruang hampa, tapi ruang pertarungan. Kita harus membandingkan gerakan dakwah dengan gerakan antidakwah sehinbgga jelas di mana posisi Dakwah Islamiyah: mendahului atau didahului, menang atau kalah.
Cara penilaan ini mengarahkan kita pada satu pengertian dakwah yang lebih luas dan komplek. Dakwah tidak boleh lagi dipahami sebagai mengajar dan pidato di mimbar, melainkan segala upaya untuk mengalahkan gerakan antidakwah. Termasuk yang penting dalam hal ini, tentu saja, adalah duduk di belakang meja bergelut dengan informasi dan data tentang apa saja yang dilakukan dan direncanakan lawan serta menganalisa informasi tersebut : apa pengaruhnya terhadap kerja dawah.
Merujuk pada Alqur’an, Rasulullah SAW diutus untuk missi yang jelas dan tegas : li yudzhirohu ‘alad dini kullih, untuk memenangkan (sistem) Islam di atas semua (agama) sistem tatanan kehidupan yang ada. Itulah ultimate goal Dakwah Islamiyah. Ke arah itulah gerakan dakwah ditujukan. Itu pula tolok ukur keberhasilan Dakwah Islamiyah.
Ada tiga ayat yang menegaskan tujuan konkrit diutus-Nya Rasulullah saw itu (yang tentu saja sekaligus menjadi missi dan orientasi dakwah kita sepanjang zaman) : Attaubah (9) : 33, Alfath (48) : 28 dan As Shaf (61) : 9.
Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan dien (sistem tatanan kehidupan) yang haq (yakni Islam), agar dimenangkan-Nya (Islam itu) di atas segala sistem tatanan kehidupan yang ada, sekalipun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya (membencinya.) (QS 9:33; 61:9)
(Pada QS 48:28, anak kalimat wa lau karihal musyrikun (walau pun orang-orang musyrik membencinya) yang ada pada QS 9 : 33 dan 61 : 9 diganti dengan wa kafa billahi syahida (cukuplah Allah menjadi saksi atas kemenangan itu)
Missi memenangkan Islam, mendzahirkan (mengeksiskan) Islam di atas semua sistem yang ada, memberi pengertian yang jelas bahwa sesungguhnya Rasulullah diterjunkan ke arena untuk bertarung. Sebab, tidak ada kemenangan tanpa ada pertarungan; dan berdakwah pada hakekatnya adalah bertarung. Dengan demikian, dunia ini sejatinya adalah sebuah arena kompetisi atau pentas pertarungan dua sistem tatanan kehidupan, atau sebutlah ideologi : Islam dan bukan Islam. Dalam hal ini, Islam wajib menang.
Anak kalimat “sekalipun orang-orang musyrik membencinya” atau “dan cukuplah Allah menjadi saksi (atas kemenangan itu)” pada ayat-ayat tadi, mempertegas, adanya pertarungan itu. Mempertegas adanya upaya-upaya serius untuk melemahkan atau bahkan menghentikan gerakan dakwah.
Pengulangan ayat-ayat yang senada seperti di atas, tentulah dapat dimaknai bahwa Allah bermaksud memberikan tekanan kuat akan pesan yang terkandung di dalamnya agar ummat Islam sadar, tidak lengah atau bahkan melupakannya barang sekejap. Artinya, begitu penting pesan –bertarung untuk mememenangkan sistem Islam, yang terkadung dalam ayat tersebut sehingga Allah mengulang-ulangnya agar ummat Islam jangan sampai lupa.
Tetapi, inilah musibah besar yang melanda ummat Islam kini. Kebanyakan mereka memang lupa, bahkan tidak sadar dan tidak merasa bahwa mereka sesungguhnya sedang bertarung.
Bagaimana mungkin dapat tampil sebagai pemenang, kalau merasa bertarung saja pun tidak ?! Tentulah mereka tidak menyiapkan diri secara mental dan fisik untuk betartarung. Tidak siap menyuarakan hal-hal fundamental tentang keislaman karena khawatir akan menyinggung atau menarik perhatian negatif penganut ideologi lain. Takut kalau-kalau kaum musyrik, kafir atau munafiq akan marah dan membenci.
Mereka ingin tampil sebagai orang “baik” di mata semua orang termasuk di mata penyeru kebathilan. Mereka (karena tidak sadar sedang bertarung) tidak sadar pula kalau sesungguhnya mereka punya lawan dan oleh karenanya sering-sering lawan dijadikan kawan dan kawan dijadikan lawan. Sebaliknya, kalau mendapat serangan pukulan dari penganut ideologi lain, mereka hanya bisa mengeluh dan merasa didzalimi dan diperlakukan secara tidak adil. Padahal dalam satu pertarungan, tinju misalnya, lawan memang menginginkan mereka KO.
Maka, saksikanlah bagaimana nasib mereka di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini : tidak berdaya di semua aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM. Meski mayoritas, bobot mereka tak ubahnya buih, tidak berdaya menghadapi gerakan antidakwah. Tidak punya mental petarung, cukup puas dengan hanya diberi gula-gula. Mungkin gula-gula itu berupa pakaian muslim yang dikenakan pejabat (terutama di masa kampanye) atau dikirimi hewan qur’ban, atau juga shalat berjemaah yang diekpose secara luas.
Sebagai sebuah sistem kehidupan, Islam meliputi semua aspek kehidupan. Dalam Konteks Indonesia, bisalah kita menyebutnya IPOLEKSOSBUDHANKAM. Maka pertarungan yang dimaksud antara Dakwah Islamiyah versus antidakwah, setidaknya, adalah meliputi semua aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM itu. Pada aspek-aspek itu pulalah keberhasilan/kegagalan dakwah dinilai : sejauh mana Dakwah Islamiyah mewarnai aspek-aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM.
Tentu Aku tidak bermaksud melakukan evaluasi Dakwah Islamiyah secara lebih detail dalam tulisan ini. Biarlah hal itu dilakukan oleh pemikir Islam lainnya. Yang pasti, Dakwah Islamiyah saat ini memang sedang menghadapi tantangan yang nyata besar dan berat. Persoalan besar dan mendasar internal umat Islam adalah : mereka tidak merasa sedang bertarung. Mereka mencukupkan diri dengan apa yang yang bisda dicapai, meski pun itu sebatas gula-gula. Ya, bagaimana mungkin seorang Guru Besar Perguruan Tinggi Islam merasa puas mendapat gula-gula di tengah tumpukan besar harta benda berharga ? Inilah musibah besar umat Islam.
Wallahu a’lam bisshawab

Posting Komentar
Posting Komentar